Selasa, 01 Februari 2011

Khalifah Ali Ibn Abu Thalib (36 H - 41 H / 656 M - 661 M)

Amirul Mukminin Ali a.s. adalah anak keempat Abu Thalib. Ia dilahirkan di Makkah pada hari Jumat tanggal 13 Rajab tepatnya di dalam Ka'bah. Kelahirannya terjadi sekitar tiga puluh tahun sebelum peristiwa tahun Gajah dan dua puluh tiga tahun sebelum periode hijrah. Ibunya adalah seorang wanita luhur yang berjiwa mulia bernama Fathimah binti Asad bin Hisyam bin Abdi Manaf. Ia tinggal di rumah ayahnya hingga berusia enam tahun.

Ketika Rasulullah SAWW berusia lebih dari tiga puluh tahun, paceklik sedang menimpa kota Makkah dan barang-barang pangan serba mahal. Hal inilah yang menyebabkan Ali kecil hidup bersama Rasulullah SAWW selama tujuh tahun hingga tahun-tahun pertama Bi'tsah dan mendapatkan didikan langsung darinya.

Pada khotbah ke-192 Nahjul Balaghah ia bercerita tentang dirinya: "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya".

Setelah Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi, Ali adalah orang pertama yang beriman kepadanya.

Abu Thalib untuk pertama kalinya melihat anak dan misanannya mengerjakan shalat bersama. "Anakku, apa yang sedang kau lakukan?", tanyanya heran. Ia menjawab: "Wahai ayah, aku telah memeluk agama Islam dan mengerjakan shalat bersama misananku". "Janganlah kau berpisah darinya, karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan", sang ayah menimpali.

Ibnu Abbas berkata: "Orang pertama yang melaksanakan shalat bersama Rasulullah SAWW adalah Ali a.s.".

Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi pada hari Senin dan Ali a.s. mengerjakan shalat pada hari Selasa.

Pada tahun ketiga Bi'tsah, setelah ayat "Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu" turun, Rasulullah SAWW mengundang seluruh keturunan Abdul Muthalib ke rumahnya. Mereka berjumlah empat puluh orang. Setelah makan siang, Rasulullah SAWW tidak mendapat kesempatan untuk berbicara. Pada hari berikutnya ia mengundang mereka lagi untuk makan siang ke rumahnya. Setelah usai makan, Rasulullah SAWW mencuri kesempatan seraya berbicara di hadapan mereka: "Siapakah di antara kalian yang siap untuk menolongku dan beriman kepadaku sehingga ia akan menjadi saudara dan penggantiku setelah aku wafat?" Ali a.s. berdiri dan berkata: "Aku siap untuk menolongmu dalam menempuh jalan ini!". "Duduklah", jawab Rasulullah SAWW singkat.

Rasulullah SAWW mengulangi ucapannya, dan tidak ada seorang pun yang bangun menyatakan kesiapannya kecuali Ali a.s. Ia pun menyuruhnya duduk.

Untuk yang ketiga kalinya Rasulullah SAWW mengulangi ucapannya, dan hanya Ali a.s. yang menyatakan kesiapannya. Akhirnya ia bersabda: "Sesungguhnya orang ini (Ali) adalah saudaraku, washiku, wazirku, pewarisku dan khalifahku untuk kalian sepeninggalku".

Setelah tiga belas tahun berdakwah di Makkah, akhirnya segala faktor pendukung dan persiapan untuk hijrah ke Madinah tersedia. Pada malam hijrah, Rasulullah SAWW berkata kepada Ali a.s.: "(Malam ini) engkau harus tidur di atas ranjangku!". Malam itu Ali a.s. tidur di atas ranjang Rasulullah SAWW. Malam itu yang bertepatan dengan tanggal 1 Rabi'ul Awal tahun keempat Bi'tsah dikenal dengan nama Lailatul Mabit. Berdasarkan beberapa riwayat, pada malam itu satu ayat turun berkenaan dengan keutamaan Imam Ali a.s.

Beberapa malam sebelum hijrah, Rasulullah SAWW pergi menuju Ka'bah bersama Ali a.s. Ia berkata kepada Ali a.s.: "Naiklah di pundakku!". Setelah Ali a.s. naik ke atas pundaknya, mereka menghancurkan beberapa buah patung yang mengelilingi Ka'bah. Setelah itu mereka bersembunyi supaya kaum Quraisy tidak mengetahui siapa yang melakukan itu.

Setelah Rasulullah SAWW hijrah, Imam Ali a.s. baru dapat hijrah tiga hari setelah itu bersama ibunya, Fathimah binti Asad, Fathimah Az-Zahra`, Fathimah binti Zubair dan muslimin lainnya yang belum sempat berhijrah. Faktor keterlambatannya dalam melaksanakan hijrah adalah karena ia harus mengembalikan amanat-amanat Rasulullah SAWW kepada para pemiliknya.

Ketika ia sampai di Madinah, kakinya luka berdarah. Karena kerelaannya dalam berkorban, Rasulullah SAWW sangat berterima kasih kepadanya.

Di tahun pertama hijrah, ketika Rasulullah SAWW mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, ia berkata kepada Imam Ali a.s.: "Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat". Pada tahun kedua hijrah, Imam Ali a.s. menikah dengan Fathimah Az-Zahra` a.s.

Bulan Ramadhan tahun kedua hijrah adalah bulan kemuliaan dan kebanggaan bagi Imam Ali a.s. Pada tanggal 15 Ramadhan Allah mengaruniai Imam Hasan a.s. kepadanya dan pada tanggal 17 Ramadhan terjadi perang Badar yang telah membuktikannya sebagai pahlawan pemberani, dan hal itu menjadi buah bibir masyarakat Madinah.

Syeikh Mufid r.a. berkata: "Pada perang Badar muslimin berhasil membunuh tujuh puluh orang kafir dan Imam Ali a.s. membunuh tiga puluh enam orang dari mereka. Itu pun ia masih membantu yang lain dalam membunuh orang-orang kafir".

Pada bulan Syawal tahun ketiga hijrah pecah perang Uhud. Nama Imam Ali a.s. –-sebagaimana di perang Badar-- menjadi buah bibir masyarakat. Di perang Uhud inilah Rasulullah SAWW bersabda: "Ali adalah dariku dan aku darinya". Dan pada perang ini juga suara teriakan di langit menggema: "Tiada pedang kecuali Dzulfiqar dan tiada pemuda kecuali Ali".

Pada tahun ketiga atau keempat hijrah, Allah menganugerahkan seorang putra kepada Imam Ali a.s. yang akhirnya dinamai Husein. Sembilan imam ma'shum a.s. berasal dari keturunannya.

Pada bulan Syawal tahun kelima hijrah perang Khandaq pecah. Di perang ini Imam Ali a.s. berhadapan langsung dengan 'Amr bin Abdi Wud. Berkenaan dengan hal tersebut Rasulullah SAWW bersabda: "Manifestasi seluruh iman berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran". Pada kesempatan yang lain ia bersabda: "Peperangan Ali dengan 'Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak".

Pada tahun ketujuh hijrah, perang Khaibar kembali pecah. Pada suatu hari ketika muslimin sudah putus asa karena tidak dapat menjebol benteng Khaibar yang dijadikan pertahanan oleh orang-orang Yahudi, Rasulullah SAWW bersabda: "Besok aku akan memberikan bendera komando pasukan ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia juga dicintai oleh mereka. Ia akan menyerang pantang mundur, dan tidak akan pulang kecuali Allah akan menganugerahkan kemenangan kepadanya".

Pada tanggal 20 Ramadhan tahun ke-8 hijrah, Rasulullah SAWW berhasil membebaskan kota Makkah yang sebelumnya merupakan pusat dan benteng kokoh bagi penyembahan berhala. Berdasarkan sebagian riwayat, Imam Ali a.s. pada hari itu memperoleh kemuliaan untuk naik di atas pundak Rasulullah SAWW untuk menghancurkan berhala-berhala yang menghuni Ka'bah.

Setelah peristiwa pembebasan kota Makkah, perang Hunain dan kemudian perang Tha`if pecah. Pada peristiwa perang Hunain, hanya sembilan orang sahabat yang di antara mereka adalah Imam Ali a.s. yang setia bersama Rasulullah SAWW. Para sahabat yang lain lari tunggang-langgang.

Pada tahun ke-9 hijrah, perang Tabuk pecah. Dari dua puluh tujuh peperangan yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAWW, hanya dalam perang ini Imam Ali a.s. tidak ikut serta. Hal itu dikarenakan Rasulullah SAWW menyuruhnya untuk menjadi penggantinya di Madinah. Hadis manzilah berhubungan dengan peristiwa ini. Dalam hadis tersebut Rasulullah SAWW bersabda: "Apakah engkau (Ali) tidak rela jika kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku". Di tahun ini juga Imam Ali a.s. mendapat perintah untuk mengambil ayat-ayat surah al-baraa`ah yang dipegang oleh Khalifah Abu Bakar untuk dibacakannya di hadapan para penyembah berhala.

Pada tanggal 5 Dzul Qa'dah 10 H., Rasulullah SAWW mengutus Imam Ali a.s. ke Yaman untuk bertabligh, dan dengan ini banyak masyarakat Yaman yang memeluk agama Islam.

Pada tahun itu juga peristiwa Ghadir Khum terjadi. Seraya mengenalkan Imam Ali a.s. sebagai penggantinya Rasulullah SAWW bersabda: "Barang siapa yang aku maula (pemimpin)-nya, maka Ali adalah pemimpinnya". Hadis ini diriwayatkan oleh seratus sepuluh sahabat, delapan puluh empat tabi'in dan tiga ratus enam puluh ulama Ahlussunnah dari sejak abad ke-2 hingga abad ke-13 H.

Pada tahun ke-11 hijrah, Rasulullah SAWW meninggal dunia. Imam Ali a.s. berkata: "Engkau (Muhammad) meninggal dunia dalam pelukanku". Padahal washi Rasulullah SAWW sedang sibuk memandikan, mengafani dan menguburkannya, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Saidah dengan tujuan mengadakan sebuah kudeta. Sebuah kudeta yang eksesnya memenuhi sejarah dengan lembaran hitam, menjadikan masa depan umat manusia gelap-gulita dan lebih dari itu, sunnah yang batil terwujud. Dinasti Umaiyah dan Abasiyah telah menduduki tahta kerajaan Islam dan menjadikan kekhilafahan sebagai sebuah permainan.

Dengan kata lain, peristiwa yang terjadi di Saqifah itu adalah dasar utama munculnya pengkhianatan besar terhadap muslimin. Karena dengan lebih mendahulukan orang yang biasa atas orang yang lebih dari segala segi, para sahabat yang berkumpul di Saqifah tersebut telah memenangkan permainan itu dengan segala tipu muslihat dan berhasil menon-aktifkan Imam Ali a.s. dari memegang khilafah padahal ia memiliki masa lalu yang cemerlang dalam membela Islam, ilmu dan takwa. Dan selama dua puluh lima tahun tidak hanya hak Imam Ali a.s. yang diinjak-injak melalui iming-iming kekayaan dan pemaksaan, hak umat Islam untuk mendapatkan seorang pemimpin yang adil dan alim juga tidak dihiraukan.

Akhirnya, sistem khilafah semacam inilah yang memperlicin jalan bagi berkuasanya Bani Umaiyah dan Bani Abbas, dan kebiasaan lebih mendahulukan orang biasa dari orang yang lebih dari segala segi itulah yang memberikan kesempatan bagi orang yang suka mencari kesempatan untuk mengorbankan hakikat demi maslahat individu.

Sepanjang lima tahun pemerintahan Imam Ali a.s., banyak faktor yang selalu menjegalnya dalam usaha mewujudkan sebuah perbaikan universal dan keadilan sosial. Pada masa lima tahun itu mayoritas waktu dan tenaganya digunakan untuk membasmi segala bentuk kudeta dan berperang melawan naakitsiin (para pembelot dari bai'at seperti Thalhah dan Zubair), qaasithiin (para lalim seperti Mu'awiyah dan para pengikutnya) dan maariqiin (orang-orang yang enggan menaati segala instruksi Imam Ali a.s. seperti kelompok Khawarij Nahrawan).

Selama enam puluh tiga tahun hidup di tengah-tengah masyarakat, Imam Ali a.s. hidup dengan penuh kesucian jiwa, takwa, kejujuran, iman dan ikhlas dengan berpegang teguh pada semboyan "cercaan para pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah". Dan ia tidak memiliki tujuan kecuali Allah dan setiap amalan yang dikerjakannya semuanya demi Allah. Jika ia sangat mencintai Rasulullah SAWW, hal itu pun ia lakukan demi Allah. Ia tenggelam dalam iman dan ikhlas untuk Allah. Ia lalui semua kehidupannya dengan kesucian dan ketakwaan, dan ia pun bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan suci. Ia lahir di rumah Allah dan meninggal di rumah Allah juga. Seluruh hidupnya telah menjadi satu dengan kebenaran. Ketika pedang Abdurrahman bin Muljam merobek kepalanya ia hanya berkata: "Aku sekarang menang, demi Tuhan yang memiliki Ka'bah". Ia meneguk cawan syahadah pada malam 21 Ramadhan 40 H.

Ali yang Dicintai Rasul

Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai orang yang paling dekat dan paling dicintai oleh Rasulullah SAW. Banyak riwayat dan hadis yang menjelaskan tentang hal ini. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW mendapat kiriman daging burung panggang. Nabi SAW mengatakan bahwa dia hanya akan memakan daging itu bersama dengan orang paling beliau cintai dan paling dicintai oleh Allah. Kepada Anas bin Malik yang sehari-hari bekerja sebagai pembantu di rumah Nabi, beliau bersabda bahwa orang yang akan datang ke rumah ini adalah orang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Anas menanti-nantikan kedatangan orang itu. Dalam hati kecilnya, ia berharap, semoga orang yang dimaksudkan adalah salah seorang sanak keluarganya. Ketika sedang termenung, mendadak ia mendengar suara ketukan pintu. Anas membukakan pintu. Ia kecewa karena yang datang ternyata Ali bin Abi Thalib. Ali meminta izin bertemu Rasul. Anas menjawab bahwa Nabi sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Pintu rumah Rasul kembali ditutup.

Beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara ketukan pintu. Anas bergegas membukakannya. Ia kembali kecewa karena ternyata Ali-lah yang datang. Tiga kali berturut-turut, Ali datang dan Anas tidak memberinya izin berjumpa dengan Rasulullah. Pada kali ketiga, Rasul bertanya kepada Anas, “Siapakah yang ada dibelakang pintu.” Anas menjawab, “Ali.” Rasul menyuruh Ali masuk dan bersabda bahwa Ali adalah orang yang paling dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Pengorbanan yang dipersembahkan Ali untuk Islam dalam disaksikan dalam semua sisi kehidupan manusia mulai ini. Perang Khandak atau Perang Parit adalah saksi nyata dari perngorbanan besar yang dipuji oleh Rasulullah. Saat itu, ketika kaum kafir Quresy berhasil mengajak sejumla suku-suku Arab untuk menyerang Madinah pada tahun ke-5 hijriyah, sekitar 10 ribu pasukan kafir mengepung kota itu.

Pengorbanan untuk Islam

Untuk pertahanan mengadapi pasukan sebesar itu, atas saran Salman dan perintah Rasulullah SAW, kaum muslimin menggali parit. Meski demikian, ada beberapa jawara Quresy yang berhasil menyebrangi parit melalui bagian yang relatif sempit. Salah satu diantara mereka adalah Amr bin Abdi Wadd, yang dikenal sebagai jawara Arab tertangguh masa itu.

Ketika berhasil menyeberangi parit, Amr berteriak-teriak menantang siapa saja yang berani berhadapan dengannya. Kebisuan menyelimuti barisan kaum muslimin yang tahu dengan benar siapa Amr bin Abdi Wadd. Tiba-tiba Ali memecah kebisuan dan menyatakan kesiapannya bertarung dengan Amr. Dengan memakai serban yang dililitkan oleh Rasul di kepalanya, pemuda putra Abu Thalib itu melangkah menjawab tantangan Amr.

Kepergian Ali ke medan laga ditatap oleh Rasul yang bersabda, “Ini adalah pertarungan antara keimanan murni dan kekafiran murni.” Debu-debu beterbangan menyelimuti medan pertarungan dua jawara dari dua barisan yang berseteru dan menghalangi tatapan ribuan pasang mata. Hanya gemerincing suara benturan pedang yang terdengar. Tiba-tiba, suara takbir menggema yang menandakan bahwa Ali berhasil menghabisi Amr.

Kemenangan Ali atas Amr dalam kondisi seperti itu, mendapat pujian Nabi SAW. Beliau bersabda, “Pukulan pedang Ali pada perang Khandak lebih mulia dari ibadah seluruh manusia dan jin.”

Pada tahun ke-7 hijriyah, setelah mendengar berita persiapan kaum Yahudi Khaibar untuk menghabisi kota Madinah, Rasulullah SAW mengirim pasukan untuk menyerang mereka. Satu persatu benteng Khaibar jatuh ke tangan kaum muslimin. Namun gerakan pasukan Islam terhenti setelah dua hari berturut-turut gagal menundukkan benteng yang terkuat. Akhirnya, Nabi SAW bersabda bahwa esok beliau akan menyerahkan panji perang kepada orang yang menyintai Allah dan Rasul serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia adalah orang yang tidak akan mundur sebelum berhasil menguasai benteng itu.

Esoknya, oleh Nabi, panji perang itu diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib as. Di tangan Ali, benteng terkuat Khaibar berhasil dikuasai dan kaum Yahudi di kawasan itu bertekuk lutut di hadapan kekuatan Islam. Kekalahan Yahudi Khaibar berarti kekalahan Yahudi di seluruh negeri Hijaz.

Perang Hunain adalah cerita lain yang mengisahkan ketegaran Ali dalam membela agama Allah. Perang Hunain terjadi setelah penundukan kota Mekah oleh pasukan muslimin. Dengan pasukan besar, sebagian kaum muslimin merasa tidak ada kekuatan di Arab yang bisa mengalahkannya. Namun tanpa diduga, barisan kaum muslimin diobrak-obrik oleh suku Hawazin dan Tsaqif. Barisan yang semula rapi itu mendadak kacau dan sebagian besar orang lari menyelamatkan diri dari serbuan suku Hawazin dan Tsaqif.

Hanya beberapa orang yang tetap menyertai Rasulullah SAW, diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib dan Abbas bin Abdul Mutthalib. Saat itulah Nabi memerintahkan Abbas untuk memanggil kembali orang-orang yang terikat dengan baiat Ridhwan. Akhirnya, sedikit demi sedikit mereka yang lari kembali ke barisan dan siap menghadapi musuh.

Kepahlawanan dan kesetiaan Ali kepada Allah dan Rasul-Nya tidak diragukan oleh siapapun. Nama Ali membuat gentar setiap musuh Islam. Untuk itulah, ketika Nabi SAW membawa pasukan besar ke arah Tabuk, beliau memerintahkan Ali untuk tinggal di Madinah dan mengamankan kota ini dari konspirasi kaum munafikin yang ingin membuat kekacauan. Kehadiran Ali di Madinah di saat Nabi SAW dan sebagian besar kaum muslimin pergi ke Tabuk telah mengacaukan rencana kaum munafikin. Karenanya mereka menebar isu miring bahwa Rasul tidak lagi memerlukan Ali dalam perang Tabuk karena perjalanannya yang panjang dan panas yang membakar. Mereka juga menebar kasak-kusuk bahwa Ali meminta untuk tinggal di Madinah dengan anak-anak kecil dan kaum wanita di saat semua orang pergi menanggung kesusahan ke Tabuk.

Mendengar isu itu Ali mengejar Nabi SAW sampai ke daerah Juhfah yang terletak beberapa kilometer dari kota Madinah. Kepada utusan Allah itu, Ali menyampaikan isu yang beredar di Madinah. Nabi bersabda, “Wahai Ali, tidak bersediakah engkau memiliki posisi di sisiku sama seperti Harus di sisi Musa, hanyasaja tidak ada nabi setelahku?”

Ali as Setelah Kepergian Nabi SAW

Tahun 10 hijriyah, Nabi SAW bersama para sahabatnya melakukan ibadah haji. Musim haji tahun itu, hanya dihadiri oleh mereka yang telah memeluk agam Islam. Sejarah mencatat, bahwa lebih dari 100 ribu muslim ikut menyertai rasulullah SAW dalam ibadah haji yang disebut dengan hajjatul wada’ ini. Hajjatul Wada berarti haji perpisahan, karena setelah tahun itu umat Islam ditinggalkan oleh pemimpin mereka, Rasulullah SAW yang wafat hanya selang beberapa bulan sepulangnya dari haji ini.

Seperti yang telah kami singgung dalam searah kehidupan rasul SAW, di tengah perjalanan pulang ke Madinah, Nabi mendapatkan wahyu untuk menyampaikan pesan penting Tuhan. Untuk melaksanakan perintah itu, beliau menyuruh para sahabatnya untuk berhenti di tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Di sanalah beliau menyampaikan hadisnya yang terkenal, “Man Kuntu Maulahu fahadza Aliyyun maulah.” Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpin maka Ali adalah pemimpinnya juga. Hadis ini difahami sebagai pengumuman dari Nabi bahwa sepeninggal beliau Ali-lah yang akan memimpin umat Islam.

Di penghujung bulan Shafar tahun 11 hijriyah, Nabi SAW menerima panggilan Sang Khalik untuk menghadap-nya. Beliau wafat meninggalkan umatnya setelah menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Umat Islam bagai anak-anak yatim yang kehilangan orang tua mereka. Untuk itulah sejumlah orang berkumpul di sebuah balairung yang disebut dengan nama Saqifah bani Saidah. Pertemuan itu dihadiri oleh sejumlah orang Anshar dan beberapa orang muhajirin. Meski sempat terjadi keributan, pertemuan itu menghasilkan keputusan mengangkat Abu bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah untuk memerintah atas umat.

Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah di saat jenazah suci Rasulullah SAW belum dimakamkan, cukup mengejutkan bagi para sahabat yang lain. Sebagian dari mereka masih meyakini bahwa Rasul sudah menjelaskan siapakah yang bakal menjadi penerus beliau. Namun segala penentangan terhadap keputusan itu tidak membuahkan hasil apapun. Beberapa bulan setelah wafatnya Rasul, Ali dan para pengikutnya mengulurkan tangan baiat kepada Abu Bakar.

Sejarah mencatat bahwa sepeninggal Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai jawara tangguh dan pewaris ilmu Rasulullah SAW, hidup menyendiri. Beliau lebih menyibukkan diri dengan ibadah, menulis Al-Quran, bekerja dan mengajarkan ilmu kepada orang-orang tertentu, semisal Abdullah bin Abbas. Hubungan Ali dengan khalifah Abu Bakar tidak banyak dicatat oleh sejarah. Sepeninggal khalifah Abu Bakar, Umar yang menjadi khalifah kedua banyak memanfaatkan ilmu dan nasehat Ali. Ketika akan menyerang Persia, sesuai dengan saran Ali, Umar tidak menyertai pasukannya. Dalam banyak kasus, Umar juga membatalkan keputusannya ketika ada penentangan dari Ali. Kata-kata Umar yang terkenal, “Jika tidak ada Ali, Umar pasti binasa,” atau ungkapan, “Semoga Allah tidak menguji dengan satu maslah tanpa kehadiran Abul Hasan” diabadikan oleh para sejarawan.

Menjelang kematiannya, khalifah Umar menunjuk enam orang sahabat, yatiu Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf sebagai anggota syura. Tugas syura ini adalah memilih salah seorang diantara mereka sebagai khalifah. Dengan ketentuan yang telah ditetapkan, Abdurrahman bin Auf mengulurkan tangannya untuk membaiat usman. Keputusan itulah yang akhirnya ditetapkan dan Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga.

Di masa kekhalifahan Utsman bin Affan, Ali tidak banyak memegang peranan, sebab khalifah ketiga ini lebih mengutamakan sanak familinya dari pada orang lain termasuk dalam masalah pemerintahan. Ketidakpuasan umum terhadap kinerja khalifah dan para pejabat pemerintahan saat itu, telah memunculkan kebangkitan massa. Meski termasuk tokoh yang paling vokal terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan saat itu, Imam Ali as tetap berusaha mencegah terjadinya aksi pembunuhan terhadap khalifah. Semua upaya dilakukannya termasuk memerintah putra-putranya untuk mengirimkan air dan makanan ke rumah khalifah yang dikepung massa. Namun, takdir berkehendak lain dan khalifah Usman terbunuh di tengah kerusuhan tersebut.

Ali Dibaiat Sebagai Khalifah

Masyarakat umum yang merasakan kekosongan kepemimpinan menyerbu rumah Ali dan mengajukan baiat mereka. Putra Abu Thalib menolak baiat tersebut dan meminta umat untuk membaiat orang selain dirinya. Ketika desakan massa semakin kuat, Ali menerima baiat mereka. Praktis dengan baiat yang dilakukan umat secara aklamasi terhadap dirinya, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah kaum muslimin.

Kebijakan pertama yang dilakukan Ali adalah mencopot para pejabat yang tidak layak lalu mengganti mereka dengan orang-orang yang cakap dan adil. Imam Ali yang dikenal dengan keadilannya juga mencabut undang-undang yang diskriminatif. Beliau memutuskan untuk membatalkan segala konsesi yang sebelumnya diberikan kepada orang-orang Quresy dan menyamaratakan hak umat atas kekayaan baitul mal.

Perang Jamal

Sikap inilah yang mendapat penentangan sejumlah orang yang selama bertahun-tahun menikmati keistimewaan yang dibuat oleh khalifah sebelumnya. Ketidakpuasan itu kian meningkat sampai akhirnya mendorong sekelompok orang untuk menyusun kekuatan melawan beliau. Thalhah, Zubair dan Aisyah berhasil mngumpulkan pasukan yang cukup besar di Basrah untuk bertempur melawan khalifah Ali bin Abi Thalib.

Mendengar adanya pemberontakan itu, Imam Ali mengerahkan pasukannya. Kedua pasukan saling berhadapan. Ali terus berusaha membujuk Thalhah dan Zubair agar mengurungkan rencana berperang. Beliau mengingatkan keduanya akan hari-hari manis saat bersama Rasulullah SAW dan berperang melawan pasukan kafir.

Meski ada riwayat yang menyebutkan bahwa himbauan Imam Ali itu tidak berhasil menyadarkan kedua sahabat Nabi itu, tetapi sebagian sejarawan menceritakan bahwa Thalhah dan Zubair saat mendengar teguran Ali, bergegas meninggalkan medan perang.

Perang tak terhindarkan. Ribuan nyawa melayang sia-sia, hanya karena ketidakpuasan sebagian orang terhadap keadilan yang ditegakkan oleh Imam Ali as. Pasukan Ali berhasil memukul mundur pasukan yang dikomandoi Aisyah, yang saat itu menunggang unta. Perang Jamal atau Perang Unta berakhir setelah unta yang dinaiki oleh Aisyah tertusuk tombak dan jatuh terkapar.

Sebagai khalifah yang bijak, Ali memaafkan mereka yang sebelum ini menghunus pedang untuk memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke Madinah dengan dikawal oleh sepasukan wanita bersenjata lengkap. Fitnah pertama yang terjadi pada masa kekhalifahan Imam Ali as berhasil dipadamkan. Namun masih ada kelompok-kelompok lain yang menghunus pedang melawan Ali yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai poros kebenaran.

Perang Shiffin

Setelah api fitnah pasukan Jamal berhasil dipadamkan, pemerintahan Imam Ali as kembali diguncang oleh pemberontakan pasukan Syam pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perang ini terjadi setelah Muawiyah yang menjabat sebagai gubernur Syam sejak masa khalifah Umar bin Khatthab, menolak berbaiat dan tidak bersedia tunduk kepada pemerintahan Imam Ali as. Saat Imam Ali melalui sepucuk surat memintanya untuk berbaiat, Muawiyah mengumpulkan warga Syam di masjid dan mengatakan bahwa ia akan menuntut darah khalifah Usman yang dibunuh oleh para pemberontak.

Muawiyah mendapat dukungan warga Syam yang siap melakukan pembalasan atas darah khalifah. Pasukan Syam telah disiagakan untuk memberontak. Berita akan kesiapan pasukan Syam sampai ke telinga Imam Ali as. Beliau segera memanggil para sahabatnya untuk meminta pendapat mereka mengenai rencana serangan ke Syam. Sebagian besar sahabat mendukung rencana itu, bahkan beberapa diantaranya mencaci pasukan Syam. Imam melarang mereka dan mengatakan bahwa beliau tidak menyukai orang yang suka mencaci. Ammar bin Yasir, salah seorang sahabat besar Nabi SAW dan pengikut setia Imam Ali as turut menyatakan dukungan.

Setelah Imam Ali as yakin bahwa Muawiyah hanya mengenal bahasa kekerasan, beliau mengumumkan rencananya menyerang Syam kepada seluruh warga. Al-Hasan dan Al-Husein as, dua putra Imam Ali as memikul tugas mengajak masyarakat untuk menyertai pasukan Kufah menuju Syam.

Mendengar kesiapan pasukan Kufah, Muawiyah mengumpulkan warga Syam di masjid. Di atas mimbar masjid Syam, dia mengangkat tinggi-tinggi sebuah baju yag berlumur darah seraya mengatakan, “Inilah baju khalifah Usman yang masih berlumur darah.” Muawiyah mengajak warga Syam untuk menyertai pasukannya menyerang pasukan Irak yang dipimpin oleh Imam Ali as.

Dua pasukan besar Syam dan Kufah bertemu. Kepada para sahabatnya, Imam Ali berpesan untuk tidak memulai perang sebelum pasukan Syam menyerang. Tanggal 1 Shafar tahun 37 hijriyah, kedua pasukan terlibat pertempuran sengit. Perang yang dikenal dengan nama perang Shiffin ini berlangsung cukup lama. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Diantara mereka yang gugur di pasukan Imam Ali adalah Ammar bin Yasir, Khuzaimah yang disebut nabi dengan nama dzu syahadatain atau orang memiliki dua syahadah, Uwais Al-Qarani, seorang arif yang dipuji Nabi serta sejumlah sahabat besar lainnya.

Ketika Muawiyah menyaksikan keletihan dan ketidakmampuan pasukannya untuk melanjutkan perang, ia memerintahkan orang-orangnya untuk mengangkat Al-Qur’an di atas tombak seraya memekikkan suara gencatan senjata. Tipu muslihat itu berhasil membuat pasukan Kufah ragu melangkah. Mereka tertipu oleh tipu daya ini dan tidak lagi mengacuhkan perintah Imam Ali as untuk melanjutkan perang. Ketidakpatuhan pasukan Kufah kepada pemimpinnya memaksa Imam Ali as untuk menerima ajakan damai yang sebenarnya hanyalah tipu muslihat Muawiyah untuk lolos dari kekalahan yang sudah di depan mata dalam perang Shiffin.

Gencatan senjata dilanjutkan dengan masing-masing pasukan mengirimkan juru runding. Muawiyah menunjuk Amr bin Ash yang dikenal licik ke meja perundingan. Sementara Imam Ali menunjuk Abdullah bin Abbas yang di kalangan Quresy dikenal sebagai orang cerdik dan arif. Tetapi lagi-lagi, pasukan Irak menentang keputusan Imam Ali. Dengan berdalih bahwa Ibnu Abbas adalah anggota pasukan Irak, maka dia tidak berhak duduk di meja perundingan. Mereka lantas memilih Abu Musa Al-Asy’ari yang tidak terlibat dalam perang Shiffin. Imam Ali yang kecewa dengan sikap pasukannya yang tidak lagi menghiraukan pemimpin mereka mengatakan, “Silahkan lakukan apa yang kalian inginkan.”

Dalam perundingan itu, Amr bin Ash dan Abu Musa sepakat untuk bersama-sama mengumumkan pencabutan jabatan Imam Ali dan dan Muawiyah. Setelah terlebih dahulu Abu Musa menyatakan keputusan menurunkan Ali dari khilafah, Amr dengan licik menyatakan bahwa dia menunjuk Muawiyah untuk menjadi pemimpin dan khalifah atas umat Islam.

Perang Nahrawan

Peristiwa hakamiyyah atau perundingan setelah perang Shiffin menjadi percikan awal munculnya kelompok baru yang dinamakan Khawarij. Kelompok ini mengangkat slogan “Tidak ada keputusan kecuali keputusan Allah.” Dengan slogan ini mereka menyatakan penentangan atas keputusan Imam Ali yang bersedia berunding dengan Muawiyah. Setelah mendengar jawaban dan keterangan dari khalifah ini, sebagian besar orang yang semula bergabung dengan kelompok itu memisahkan diri dan kembali ke barisan Imam Ali as.

Tak lama kemudian Khawarij membentuk pasukan dan memilih salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin. Pasukan ini bergerak ke arah daerah bernama Nahrawan. Siapa saja yang ditemui dan menyatakan mendukung kepemimpinan Imam Ali as tidak selamat dari tebasan pedang mereka. Keberingasan Khawarij membulatkan tekad Imam Ali untuk menghabisi mereka.

Saat dua pasukan berhadapan, sekali lagi Ali menasehati mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Kelompok demi kelompok memisahkan diri dari pasukan khawarij, sampai jumlah mereka berkurang menjadi hanya 1.800 penunggang kuda dan 1.500 pejalan kaki. Imam Ali berpesan kepada pasukannya yang berjumlah 14 ribu orang untuk tidak memulai perang. Khawarij secepat kilat menyerang dengan beringas dan dengan cepat pula barisan mereka kucar kacir. Pasukan ini lumpuh hanya beberapa saat setelah perang dimulai. Dari barisan Imam Ali hanya kurang dari 10 orang yang gugur. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 9 Shafar tahun 38 hijriyah.

Warga Kufah Khianati Khalifah

Hasil keputusan perundingan antara Amr bin As dan Abu Musa Al-Ashari tidak bisa diterima oleh Imam Ali. Beliau segera mengeluarkan pengumuman tentang rencana menyerang kembali Syam. Akan tetapi hasutan orang-orang semisal Asyats bin Qais membuat orang-orang yang berada di barisan Imam Ali mengambil keputusan untuk kembali ke Kufah dengan alasan letih menghadapi peperangan. Hanya sekitar 300 orang yang memenuhi panggilan khalifah untuk berkumpul di kamp Nukhailah bersama beliau.

Ketidakloyalan warga Kufah kepada pemimpin mereka cukup memukul perasaan Imam Ali. Beliau terpaksa kembali ke Kufah dan urung menyerang Syam dengan jumlah pasukan yang hanya segelintir orang saja. Imam Ali kecewa dan mengecam sikap warga Kufah tersebut.

Wafat Imam Ali AS

Setelah perang Nahrawan berakhir, Imam Ali as kembali mengimbau umat untuk bersiap-siap menyerang Muawiyah di Syam yang melakukan pembangkangan dan merusak persatuan kaum muslimin. Namun seruan beliau itu tidak mendapat sambutan masyarakat luas. Sejumlah orang seperti Asy’ats bin Qais sangat berperan dalam mengendurkan semangat para pendukung khalifah untuk kembali menyusun kekuatan di bawah kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib as. Akibatnya, dengan alasan letih karena perang, mereka memilih untuk meninggalkan pemimpin mereka di kamp Nukhailah. Menyaksikan kondisi yang demikian, Amirul Mukminin terpaksa kembali ke Kufah.

Imam Ali as memendam kekecewaan yang mendalam terhadap warga Kufah. Berkali-kali beliau mengecam warga kota itu karena ketidakloyalan mereka kepada khalifah. Dalam sebuah khotbahnya, beliau mengatakan, “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”

Pada kesempatan yang lain beliau berkata, “Wahai umat yang jika aku perintah tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat kesempatan dan lemah ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya, kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”

Meski kecewa akan sikap dan perlakuan warga Kufah terjhadap dirinya, Imam Ali as terus berusaha menyadarkan mereka dan menggerakkan semangat mereka untuk kembali berjihad di jalan Allah. Dalam banyak kesempatan, beliau mengingatkan mereka akan kebenaran yang berada di pihaknya dan bahwa berperang melawan Muawiyah adalah tugas suci yang harus dilaksanakan, sebab Muawiyah memecah belah umat dan berusaha menyebarkan kebatilan di tengah umat.

Berbeda dengan kondisi Kufah, di Syam, Muawiyah menikmati kesetiaan warga di negeri itu yang siap mengorbankan nyawa deminya. Muawiyah yang mendengar berita pengkhianatan warga Kufah terhadap pemimpin mereka, berusaha memanfaatkan kesempatan itu untuk mengguncang dan merongrong pemerintahan Ali bin Abi Thalib as. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penyerangan ke sejumlah wilayah kekuasaan khalifah yaitu Jazirah Arabia dan Irak. Dengan cara ini, Muawiyah berupaya menjatuhkan mental para pendukung Ali.

Usaha Imam Ali as untuk kembali menyusun kekuatan, mulai menampakkan hasil. Kelompok demi kelompok menyatakan kesediaan mereka untuk bergabung dengan pasukan beliau. Upaya menggalang kekuatan terus dilakukan oleh orang-orang dekat dengan Imam Ali as, termasuk kedua putra beliau Al-Hasan dan Al-Husein as. Dalam kondisi seperti itu, Allah ternyata berkehendak lain. Setelah berjuang sekian tahun menjaga amanah imamah yang diberikan oleh Rasulullah, dan setelah menyaksikan pengkhianatan demi pengkhianatan orang-orang di sekelilingnya, Imam Ali a.s. harus menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.

Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 hijriyah. Amirul Mukminin Ali as keluar dari rumahnya menuju masjid Kufah untuk memimpin shalat subuh berjamaah. Di tengah shalat, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahi putra Abu Thalib itu. Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. Jemaah masjid tersentak mendengar suara Ali, “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”

Ali roboh di mihrabnya dengan luka yang parah, sementara warga dengan cepat menangkap sang pembunuh yang tak lain adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang khawarij. Al-Hasan membawa ayahnya ke rumah. Berita itu segera menyebar di seluruh penjuru kota Kufah. Berbagai usaha dilakukan untuk menyelematkan jiwa Imam Ali as. Tetapi takdir Allah berkehendak lain. Ali bin Abi Thalib gugur syahid pada tanggal 21 Ramadhan atau dua hari setelah peristiwa pemukulan itu terjadi.

Sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, Amirul Mukminin mewasiatkan beberapa hal kepada putra-putranya dan kepada umat. Di antara pesan beliau adalah menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.

Menurut sejumlah riwayat, Imam Ali as menghembuskan nafasnya yang terakhir ketika bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” Artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”

Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Ali as sejak lama telah mengetahui kapan dan bagaimana beliau akan meneguk cawan syahadah. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW menjelaskan kemuliaan bulan Ramadhan kepada para sahabatnya. Kepada Nabi, Ali bertanya, di bulan suci ini, amalan apakah yang terbaik? Rasul SAW menjawab, “Meninggalkan perbuatan dosa.” Mendadak mata Nabi berkaca-kaca. Ali menanyakan apa yang membuat beliau menangis? Rasul menjawab, bahwa Ali kelak akan dibunuh di bulan Ramadhan.

Kepergian Imam Ali as meninggalkan kedukaan yang mendalam di tengah umat Islam. Betapa tidak, Ali adalah orang yang mewarisi ilmu Nabi dan pemimpin besar umat ini. Akan tetapi, beliau ternyata harus meninggalkan ummat setelah mengalami berbagai macam pengkhianatan dan fitnah. Kondisi yang ada saat itu memaksa keluarga besar Rasulullah untuk memakamkannya di malam hari secara diam-diam di luar kota Kufah. Tempat itu di kemudian hari menjadi sebuah kota bernama Najaf.

Di sini kami memilih ucapan-ucapan suci yang pernah diucapkan oleh Imam Ali a.s. semasa hidupnya dengan harapan semoga ucapan-ucapan suci tersebut dapat menjadi penerang hati demi menuju kesempurnaan insani.

1. Menyembunyikan amal baik dan musibah


"Termasuk harta simpanan di surga, berbuat kebajikan, menyembunyikan amal baik, sabar atas segala musibah dan menyembunyikan musibah".

2. Tanda-tanda orang zahid


"Orang yang zahid adalah yang ketabahannya tidak dikalahkan oleh hal-hal yang haram dan hal-hal yang halal tidak melupakannya untuk bersyukur".

3. Tidak berlebihan dalam mencintai dan membenci


"Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari".

4. Harga setiap insan


"Harga setiap orang bergantung kepada amalan baiknya".

5. Faqih yang sempurna


"Maukah kuberitahukan kepada kalian seorang faqih yang sesungguhnya? Ia adalah orang yang tidak mengizinkan orang lain bermaksiat kepada Allah, tidak memutusasakannya dari rahmat-Nya, tidak menjadikannya merasa aman dari makar-Nya, dan tidak meninggalkan Al Quran dan memilih yang lainnya karena benci terhadapnya. Tiada kebaikan bagi sebuah ibadah yang tidak disertai oleh pemahaman, tiada kebaikan bagi sebuah ilmu yang tidak disertai oleh tafakur, dan tiada kebaikan bagi pembacaan Al Quran yang tidak disertai oleh tadabur".

6. Bahaya terlalu berharap dan mengikuti hawa nafsu


"Aku sangat mengkhawatirkan dua hal terhadap kalian: pengharapan yang terlalu panjang dan mengikuti hawa nafsu. Karena pengharapan yang terlalu panjang akan menjadikan orang lupa akhirat dan mengikuti hawa nafsu akan mencegahnya dari kebenaran".

7. Batasan persahabatan


"Janganlah kau jadikan musuh sahabatmu sebagai sahabatmu, karena dengan itu engkau telah memusuhi sahabatmu sendiri".

8. Macam-macam kesabaran


"Kesabaran itu ada tiga macam: sabar atas musibah, sabar atas ketaatan (kepada Allah) dan sabar atas maksiat".

9. Kemiskinan yang telah ditakdirkan


"Barang siapa yang jatuh miskin dan ia tidak menganggap bahwa hal itu adalah suatu anugerah dari Allah, maka ia telah melenyapkan sebuah harapan, dan barang siapa menjadi kaya-raya dan ia tidak memikirkan bahwa hal itu adalah sebuah ujian dari-Nya, maka ia telah terjerumus ke dalam sebuah jurang yang menakutkan".

10. Kemuliaan, bukan kehinaan


"Kematian ya, kehinaan tidak! Keteguhan pendirian ya, ketololan tidak! Masa adalah dua hari: pada satu hari ia akan memihak kepadamu dan pada hari yang lain ia akan membawa bencana bagimu. Jika ia sedang memihak kepadamu, maka jangan terlalu berbahagia, dan jika ia membawa bencana bagimu, maka janganlah susah. Engkau akan diuji dengan keduanya".

11. Memohon kebaikan


"Tidak akan bingung orang yang beristikharah, dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah".

12. Mencintai negara


"Sebuah negeri akan makmur jika (penduduknya) mencintainya".

13. Tiga macam ilmu


"Ilmu itu ada tiga: fiqih untuk memahami agama, kedokteran untuk menjaga kesehatan badan dan Nahwu untuk menjaga mulut salah ucap".

14. Nilai seseorang


"Berbicaralah tentang ilmu niscaya harga dirimu akan tampak".

15. Jangan yakini!


"Jangankan meyakinkan kepada dirimu bahwa engkau miskin dan panjang umur".

16. Menghormati seorang mukmin


"Mencela seorang mukmin adalah sebuah kefasikan, memeranginya adalah sebuah kekufuran dan kehormatan hartanya seperti kehormatan darahnya".

17. Kefakiran


"Kefakiran adalah kematian yang paling besar, dan sedikitnya keluarga salah satu dari dua kemudahan. Ini adalah separuh kebahagiaan".

18. Dua hal yang membahayakan


"Dua hal yang dapat menghancurkan manusia: takut miskin dan berbangga diri".

19. Tiga orang dianggap zalim


"Pelaku kezaliman, orang yang membantunya dan orang yang diam dengan kezaliman tersebut adalah orang-orang zalim".

20. Sabar terbaik


"Kesabaran itu ada dua macam: sabar ketika ditimpa musibah. Ini adalah hal yang baik. Dan lebih baik dari itu adalah sabar menahan diri untuk tidak melanggar hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah atas dirimu".

21. Melaksanakan amanat


"Sampaikanlah amanat walaupun kepada pembunuh putra nabi".

22. Enggan tenar


Imam Ali a.s. berpesan kepada Kumail bin Ziyad: "Tenanglah, jangan berambisi untuk ingin dikenal, sembunyikanlah kepribadianmu jangan sampai disebut-sebut di depan orang lain. Belajarlah niscaya engkau akan mengetahui dan diamlah niscaya engkau akan selamat. Tidak buruk bagimu jika Allah telah memahamkan agama-Nya kepadamu meskipun engkau tidak mengenal orang lain dan ia juga tidak mengenalmu".

23. Siksa enam golongan


"Allah akan menguji enam golongan dengan enam jenis ujian: menguji bangsa Arab dengan fanatisme, menguji para pembesar desa dengan kesombongan, menguji para pemimpin dengan kelaliman, menguji fuqaha` dengan kedengkian, menguji para pedagang dengan khianat dan menguji para penduduk desa dengan kebodohan".

24. Rukun-rukun iman


"Iman memiliki empat rukun: tawakal kepada Allah, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, menerima segala perintah-Nya, dan rela terhadap semua ketentuan-Nya".

25. Pendidikan akhlak


"Hiasilah akhlak kalian dengan segala kebajikan, setirlah ia menuju keagungan (akhlak) dan biasakanlah diri kalian untuk bersabar".

26. Mempermudah urusan masyarakat dan menjauhi perbuatan hina


"Jangan terlalu mempersulit urusan orang lain dan junjunglah harga diri kalian dengan melupakan perbuatan hina".

27. Penjaga manusia


"Cukuplah bagi setiap orang sebagai benteng bahwa tidak ada seorang pun (di dunia ini) kecuali ia memiliki para penjaga yang telah diutus oleh Allah untuk menjaganya supaya ia tidak jatuh ke dalam sumur (baca : jurang), supaya tembok tidak jatuh di atas kepalanya dan ia tidak diserang oleh binatang buas. Dan jika ajalnya telah tiba, maka mereka akan meninggalkannya berdua dengan ajalnya itu".

28. Masa kelaliman


"Akan datang menimpa manusia suatu masa, orang-orang yang tidak memiliki keahlian akan dihormati, tidak ditemukan di dalamnya orang yang cerdas dan cerdik kecuali ia lalim, tidak dipercaya kecuali pengkhianat dan tidak dituduh berkhianat kecuali orang yang terpercaya. Mereka akan menggunakan harta negara untuk kepentingan pribadi mereka, zakat sebagai sumber penghasilan, silaturahmi sebagai sarana untuk mengungkit-ungkit kebajikan dan ibadah sebagai kebanggaan dan menzalimi orang lain. Dan hal ini terjadi ketika wanita menjadi penguasa, budak-budak wanita menjadi tempat rujukan dan musyawarah dan anak-anak kecil menjadi pemimpin".

29. Cerdik menghadapi fitnah


"Ketika fitnah berkecamuk, jadikanlah dirimu seperti ibnu labun (anak unta yang belum berumur dua tahun), karena ia masih belum memiliki punggung yang kuat untuk dapat ditunggangi dan tidak memiliki air susu untuk dapat diperah".

30. Manusia yang paling lemah


"Orang yang paling lemah adalah orang yang tidak dapat menjalin tali persahabatan dengan orang lain, dan lebih lemah darinya adalah orang yang mudah melepaskan persaudaraan dengan sahabatnya".

31. Kaffarah dosa-dosa besar


"Di antara kaffarah dosa-dosa besar adalah menolong orang yang meminta pertolongan dan membahagiakan orang yang sedang ditimpa kesusahan".

32. Tanda kesempurnaan akal


"Jika akal (seseorang) telah sempurna, maka ia akan sedikit berbicara".

33. Berhubungan dengan Allah


"Barang siapa telah memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Ia akan memperbaiki hubungannya dengan orang lain, dan barang siapa telah memperbaiki urusan akhiratnya, maka Ia akan memperbaiki urusan dunianya".

34. Merenungkan


"Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit".

35. Pahala orang yang meninggalkan dosa


"Pahala pejuang yang syahid di jalan Allah tidak lebih besar dari pahala orang yang mampu untuk berbuat maksiat lalu ia meninggalkannya. Tidak mustahil para peninggal dosa akan menjadi malaikat".

36. Akibat perbuatan dosa


"Ingatlah bahwa segala kenikmatan (dosa) akan sirna dan akibatnya akan kekal abadi".

37. Kriteria dunia


"(Dunia itu) adalah menipu, membahayakan dan sepintas".

38. Para pemegang agama di akhir zaman


"Akan datang kepada manusia suatu masa yang tidak tertinggal dari Al Quran kecuali tulisannya dan dari Islam kecuali namanya, pada masa itu masjid-masjid dimakmurkan bangunannya sedangkan ia sendiri kosong dari hidayah, orang-orang yang menghuni dan memakmurkannya adalah orang yang paling jahat di muka bumi. Fitnah bersumber dari mereka dan segala kesalahan kembali kepada mereka. Orang-orang yang tertinggal dari kafilah fitnah tersebut (taubat--pen) akan dipaksa untuk kembali dan orang-orang yang tertinggal di belakang (baca : tidak ikut serta dalam kafilah itu) akan didorong maju ke depan (supaya bergabung dengannya). Allah berfirman: "Demi Dzat-Ku, akan Kukirim untuk mereka sebuah fitnah (besar) yang akan menjadikan orang-orang sabar bingung (menentukan sikap)". Dan Ia telah melakukan hal itu. Kita memohon kepada-Nya untuk mengampuni kelupaan yang membuat kita tergelincir".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Subscribe via email